Sikap diam pemerintah atas pelepasan ini juga dinilai memperkuat dugaan adanya permainan politik dan kepentingan ekonomi tertentu. Ketua DPD KNTI Bintan, Hariyanto, bahkan menyebut KKP telah kehilangan integritas.
“Kalau seperti ini, jangan salahkan rakyat jika tidak lagi percaya pada pemerintah. Siapa yang sebenarnya dilindungi? Laut Indonesia atau kantong para pelaku eksploitasi?”
Polemik PP 26/2024 dan Skema Penghalusan Kejahatan
Kasus ini juga menyeret Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut, yang dinilai memberikan celah legalisasi terhadap praktik eksploitasi pasir laut oleh korporasi besar. Banyak pihak menduga, pelepasan dua kapal Malaysia ini bukan sekadar kesalahan prosedural, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk melegalkan penjarahan sumber daya laut.
Pulau Nipah sendiri merupakan kawasan strategis nasional yang berbatasan langsung dengan perairan internasional. Tindakan pembiaran terhadap aktivitas ilegal di kawasan ini dianggap sebagai tamparan keras terhadap integritas hukum Indonesia dan mencederai semangat perlindungan lingkungan.
Kemana Suara Negara?
Hingga berita ini diturunkan, berbagai permintaan klarifikasi dari media terhadap Bakamla RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan masih belum dijawab. Rincian tentang mengapa AIS dimatikan, siapa yang memberi izin pelepasan, dan mengapa nilai kerugian negara diabaikan, masih gelap dan misterius.
Pertanyaan-pertanyaan publik menggantung di udara:
Apakah ada tekanan politik dari negara asing? Apakah aparat hukum tunduk pada kekuatan ekonomi tertentu? Siapa yang sebenarnya mengendalikan kedaulatan laut Indonesia?
Jika KKP tetap bungkam, maka jelas bahwa musuh terbesar laut Indonesia bukan lagi kapal asing, melainkan pengkhianat dari dalam negeri sendiri. [TIM]