REALITANEWS.OR.ID, KALIMANTAN BARAT || Hasil investigasi terbaru yang dilakukan oleh tim gabungan media dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengungkap dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum (APH) dalam melindungi aktivitas Penambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah Bengkayang dan Singkawang, Kalimantan Barat. Investigasi ini memaparkan bahwa cukong-cukong PETI di kawasan tersebut tidak hanya beroperasi secara bebas, tetapi juga diduga mendapatkan dukungan dan perlindungan dari pihak-pihak yang seharusnya menegakkan hukum.
Dalam hasil investigasi yang dipublikasikan pada Selasa (22/10/2024), salah satu cukong berinisial LBR menyebutkan dalam sebuah pesan WhatsApp bahwa dirinya mendapatkan “beking” dari seorang oknum TNI. Pesan tersebut menambah keyakinan bahwa beberapa oknum APH turut melindungi aktivitas tambang ilegal yang telah merusak hutan dan lingkungan di Kalimantan Barat.
Cukong PETI yang beroperasi di daerah Lasen, Singkawang Selatan, serta di wilayah Gua Boma dan SK, Bengkayang, dilaporkan memanfaatkan lahan-lahan perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) sebagai tameng untuk berlindung dari hukum. Lahan-lahan ini dilaporkan menjadi tempat berlindung yang aman bagi para penambang ilegal, yang mengeruk hasil bumi tanpa izin resmi dan merusak hutan secara besar-besaran.
Purnomo, S.H., M.H., Ketua LSM penyelamat lingkungan yang ikut dalam investigasi tersebut, menyatakan kekecewaannya atas lemahnya penegakan hukum dan adanya indikasi kuat keterlibatan oknum APH dalam melindungi pelaku penambangan ilegal. “Kami menemukan bukti-bukti bahwa cukong-cukong PETI merasa aman karena adanya perlindungan dari oknum aparat. Ini sangat memprihatinkan, karena justru aparat yang seharusnya melindungi masyarakat dan lingkungan,” ujar Purnomo.
Kerusakan hutan akibat PETI ini sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan investigasi, area hutan yang rusak akibat aktivitas tambang ilegal di wilayah tersebut meliputi ribuan hektar lahan yang dulunya berfungsi sebagai ekosistem penting bagi satwa liar dan lingkungan. Para cukong, termasuk tokoh berinisial EA, IM, dan Long JN, disebutkan sebagai pelaku utama di balik kegiatan perusakan ini.
Selain kerusakan lingkungan yang sangat parah, pencemaran air dan tanah akibat penggunaan merkuri dalam proses penambangan telah merusak kualitas hidup masyarakat setempat. Mereka kini hidup dalam ancaman bencana alam seperti banjir dan tanah longsor akibat penggundulan hutan yang tidak terkendali.
Meskipun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah memberikan sanksi tegas bagi pelaku penambangan ilegal, yakni pidana penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp 100 miliar, kenyataannya para cukong PETI masih bisa beroperasi dengan leluasa. Dugaan keterlibatan oknum APH dalam melindungi mereka menambah sulitnya penegakan hukum di lapangan.
Masyarakat setempat bersama aktivis lingkungan terus mendesak aparat penegak hukum untuk segera bertindak tegas dan menindak para cukong serta oknum APH yang diduga terlibat. “Hukum tidak boleh menjadi alat bagi mereka yang berbuat jahat, apalagi jika aparat justru terlibat dalam merusak lingkungan yang seharusnya mereka jaga,” tegas Purnomo.
Pihak berwenang di Kalimantan Barat, termasuk Kepolisian Daerah dan Komando Daerah Militer, belum memberikan tanggapan resmi terkait temuan investigasi ini. Namun, tekanan publik semakin meningkat agar dilakukan tindakan cepat dan tegas dalam mengakhiri aktivitas PETI yang terus merusak hutan serta kehidupan masyarakat di wilayah Kalimantan Barat.
( Red )
Sumber : Tim Gabungan Mata Elang Awak Media dan LSM Serta Aktivis Penyelamat Lingkungan.