Banner IDwebhost
Banner IDwebhost

Tradisi Nyadran Menjelang Ramadhan Sebagai Bentuk Penghormatan Kepada Leluhur

Ketua Forum Budaya Mataram ( FBM ) Dr.BRM.Kusuma Putra SH.MH Tradisi Nyadran Menjelang Ramadhan Bentuk Bakti Kepada Leluhur Dan Ungkapan Rasa Syukur Kepada Tuhan

Ketua Forum Budaya Mataram ( FBM ) Dr.BRM.Kusuma Putra SH.MH Tradisi Nyadran Menjelang Ramadhan Bentuk Bakti Kepada Leluhur Dan Ungkapan Rasa Syukur Kepada Tuhan
Ketua Forum Budaya Mataram ( FBM ) Dr.BRM.Kusuma Putra SH.MH Tradisi Nyadran Menjelang Ramadhan Bentuk Bakti Kepada Leluhur Dan Ungkapan Rasa Syukur Kepada Tuhan

SUKOHARJO || Bagi Masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah (Jateng), Sadranan atau Nyadran adalah serangkaian kegiatan tradisi kearifan lokal yang tak terpisahkan dalam menyambut Bulan Ramadhan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam, umumnya di lakukan masyarakat pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artinya Ruwah Sya’ban.

Dalam makna luas, Nyadran adalah suatu rangkaian budaya berupa pembersihan makam leluhur, berdo’a, tabur bunga, dan puncaknya jika keyakinan itu masih kuat ditutup dengan kenduri selamatan. Hal itu disampaikan Ketua Forum Budaya Mataram (FBM), Dr BRM Kusuma Putra SH MH yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pelestarian adat/ tradisi dan budaya, khususnya Jawa.

BACA JUGA :   Maraknya Mafia BBM di Sragen Sukoharjo dan Wonogiri Ketua Umum LAPAAN RI Jateng Ajak Media dan Lembaga Turut Mengawasi

“Ini merupakan budaya kearifan lokal warisan para leluhur dari generasi ke generasi. Dengan memiliki budaya maka kita beradaptasi dengan lingkungan,” kata Kusuma di Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah (Jateng), Senin [20/03/2023].

Tradisi Nyadran bagi masyarakat Jawa juga disebut ruwahan, dilakukan menjelang Ramadhan (Sya’ban). Mereka kebanyakan pergi ke makam mengirim do’a kepada leluhur, atau keluarga yang telah meninggal dunia.

“Oleh masyarakat Jawa, Sadranan ini sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Makanya tetap bertahan meski jaman makin modern,” ucapnya.

Dalam pandangan Kusuma, tradisi sadranan sudah menjadi simbol adanya hubungan dengan para leluhur, manusia di dunia, dan Tuhan atas segala kuasanya.

BACA JUGA :   Bangunan Diatas Sempadan Kali Jenes Disoal, DPUPR dan BBWS-BS akan Bertindak

“Sadranan menjadi contoh akulturasi agama dan kearifan lokal. Dalam ritual ini, antara budaya lokal dan nilai-nilai Islam masih tampak sangat kental,” sambung pria yang berprofesi sebagai advokat ini.

Nilai-nilai tersebut, lanjut Kusuma, telah membentuk sebuah karakter bagi masyarakat Jawa. Uniknya, karakter itu tanpa disadari terintegrasi dalam jiwa generasi berikutnya.

“Dan, tradisi nyadran ini tidak hanya dilakukan oleh Masyarakat Jawa pemeluk Agama Islam saja. Semua agama juga membaur di makam untuk berdo’a. Bahkan tak jarang tanpa terasa sampai menetes air mata,” pungkasnya. [CH86]

BERITA TERBARU YANG DISARANKAN !

Tinggalkan Balasan

criptRootC1396463">