Oleh: Catur Haryanto, Jurnalis Kampung [Wong nDeso-Wong Cilik]
REALITANEWS.OR.ID || Ketika musim pemilihan tiba, janji-janji manis seolah datang beruntun, menyeruak dari para kandidat yang mencoba mengetuk hati rakyat. Dengan retorika tentang perubahan, kesejahteraan, dan keadilan, mereka tampil membawa angan yang menyentuh harapan kita semua. Namun, berapa kali rakyat hanya dibiarkan gigit jari? Begitu kursi empuk kekuasaan mereka duduki, janji-janji itu hilang, tergantikan oleh kepentingan pribadi dan kelompok yang sempit.
Sebagaimana disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdananya di gedung DPR/MPR, seorang pemimpin sejati adalah mereka yang dapat membuat rakyatnya “GEMUYU” — tertawa bahagia, bukan sekadar tersenyum fisik, melainkan merasakan kedamaian hidup, keadilan, dan kesejahteraan. Namun, realitas sering jauh dari cita-cita ini. Bukannya memenuhi janji dengan tindakan nyata, banyak dari pemimpin kita justru jatuh ke dalam lingkaran kepentingan elit dan politik kepuasan atasan.
Fenomena ABS (Asal Bapak Senang) masih menjadi wajah gelap dalam birokrasi kita. Kebijakan yang harusnya berpihak pada rakyat malah sering dibuat semata untuk menyenangkan atasan, mengamankan kursi dan kepentingan pribadi. Para pemimpin seolah lupa bahwa kekuasaan yang mereka genggam hanyalah sementara. Pada akhirnya, baik di dunia maupun di akhirat, akan tiba saatnya bagi mereka untuk mempertanggungjawabkan semua janji yang pernah diucapkan.
Rakyat Indonesia tidak menuntut banyak. Keadilan dan kemakmuran adalah dua hal yang selalu didamba. Keadilan di sini berarti pemerataan kekayaan, akses yang setara bagi setiap orang untuk maju, dan tegaknya hukum yang tidak pandang bulu. Kemakmuran yang merata berarti mengakhiri kisah-kisah rakyat kecil yang hidup dalam kekurangan, sementara para pemimpin menikmati kemewahan. Bukankah keadilan dan kemakmuran adalah hak yang semestinya dijamin bagi setiap insan?
Menuju Pilkada dan Pilgub 2024, mari kita tegaskan, jadilah pemilih yang cerdas dan berani menolak politik uang. Suara kita adalah amanah, yang seharusnya digunakan dengan nurani, bukan dengan uang suap. Kita tak butuh pemimpin yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan. Jika kita ingin masa depan yang lebih baik, maka kita harus berani menolak setiap upaya untuk menyuap nurani kita.
Sudah waktunya kita, sebagai rakyat, menagih janji. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang siap diingatkan, yang paham bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak istimewa. Mari bangun Indonesia di mana janji bukan sekadar kata-kata kosong, tetapi tindakan nyata untuk kesejahteraan rakyat.
Ingatlah, wahai rakyat Indonesia, jika kita menerima suap, kita menjual masa depan. Dan ingat pula, wahai para calon pemimpin, jangan pernah membeli suara rakyat dengan cara yang licik. Rakyat butuh harga sandang dan pangan yang terjangkau, butuh keadilan dan kemakmuran. Kita semua memang butuh uang, tetapi akankah kita menghancurkan masa depan anak cucu kita dengan mengorbankan integritas demokrasi?
Saatnya memilih dengan hati, bukan karena uang. Bagi para pemimpin, janganlah menggunakan segala cara, suap sana sini demi tujuan. Pemimpin yang benar akan selalu berdiri di sisi rakyat, bukan di belakang para konglomerat atau oligarki.
Menagih Janji Sang Pemimpin: Demi Keadilan dan Kemakmuran Rakyat, Oleh: Catur Haryanto, Jurnalis Kampung [Wong nDeso-Wong Cilik] ……. Bersambung Halaman 2
“Saya sangat setuju dengan Catur Haryanto. Kita harus lebih aktif dalam memilih pemimpin yang mendengarkan suara kami, wong cilik. Ini bukan hanya tentang siapa yang memimpin, tetapi bagaimana mereka memperhatikan kepentingan rakyat kecil.”
“Saya sangat setuju dengan Catur Haryanto. Kita harus lebih aktif dalam memilih pemimpin yang mendengarkan suara kami, wong cilik. Ini bukan hanya tentang siapa yang memimpin, tetapi bagaimana mereka memperhatikan kepentingan rakyat kecil.”