Sebagai seorang jurnalis kampung, saya, Catur Haryanto, mungkin tidak paham banyak soal politik tingkat tinggi. Bagi saya, tugas utama seorang pengawas pemilu seperti Bawaslu itu sederhana: menjaga suara rakyat tetap murni dan memastikan demokrasi berjalan adil. Dari sudut pandang wong ndeso seperti saya, yang saya tahu hanya bahwa demokrasi seharusnya melibatkan setiap suara, terutama suara masyarakat kecil. Ketika mendengar Bawaslu dikritik karena diduga mengabaikan laporan masyarakat, saya tergerak untuk ikut menyampaikan kegelisahan ini. Meski dari desa, kami tahu demokrasi adalah milik bersama dan harus dijaga dengan sepenuh hati.
Pengiriman karangan bunga duka cita oleh sejumlah organisasi masyarakat (ormas) ke kantor Bawaslu Tulungagung mengisyaratkan adanya keresahan masyarakat terkait integritas dan transparansi lembaga pengawas pemilu ini. Pesan-pesan dalam karangan bunga tersebut menyampaikan kritik tajam, yang mengisyaratkan “matinya demokrasi” ketika laporan masyarakat tidak direspons dengan serius. Aksi simbolis ini memberikan pesan kuat bahwa masyarakat merasa suaranya diabaikan.
Bawaslu adalah institusi yang mengemban amanat untuk menjaga keadilan dalam pemilu. Mereka bertugas menampung laporan dugaan pelanggaran dan melakukan investigasi untuk memastikan proses demokrasi berjalan jujur dan transparan. Dalam konteks inilah penting bagi Bawaslu untuk membuka pintu bagi masyarakat yang memiliki bukti atau dugaan pelanggaran pemilu. Sikap menutup pintu terhadap laporan yang memiliki bukti kuat justru merusak citra Bawaslu sebagai lembaga pengawas yang kredibel.
Laporan pelanggaran pemilu yang disertai alat bukti layak mendapatkan penelusuran yang objektif dan mendalam. Menolak laporan tanpa penjelasan jelas hanya akan menimbulkan kesan bahwa ada upaya pembungkaman terhadap kritik. Padahal, undang-undang pemilu mengatur hak masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran dan mengharuskan lembaga pengawas menindaklanjuti laporan tersebut sesuai aturan yang berlaku. Dengan demikian, setiap laporan harus diperlakukan secara profesional, apalagi jika menyangkut bukti yang konkret.
Menutup diri dari komunikasi dan dialog dengan pelapor, seperti yang disampaikan salah satu ormas pengirim karangan bunga, juga bukan langkah yang bijak. Sebagai lembaga negara, Bawaslu seharusnya terbuka terhadap berbagai aspirasi publik dan mempertimbangkan setiap laporan dengan sikap objektif. Transparansi dalam setiap proses penanganan laporan adalah bentuk komitmen yang harus dijaga Bawaslu untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat.
Masyarakat berharap agar Bawaslu menjadi pengayom yang tegas dan konsisten dalam menegakkan keadilan. Demokrasi yang sehat membutuhkan pengawasan yang adil dan transparan. Jika Bawaslu mulai mengabaikan kewajiban ini, maka kita sebagai bangsa akan kehilangan salah satu pilar penting dalam proses demokrasi.
Kritik publik yang disampaikan secara simbolis ini seharusnya menjadi evaluasi penting bagi Bawaslu. Memenuhi tugas pengawasan sesuai undang-undang adalah bagian dari komitmen Bawaslu kepada masyarakat. Diharapkan lembaga ini segera merespons keresahan masyarakat, bukan dengan sekedar klarifikasi, tetapi dengan perubahan nyata yang dapat memulihkan kepercayaan publik.
Sikap responsif dan akuntabel dari Bawaslu sangat diperlukan agar masyarakat merasa dilibatkan dalam proses demokrasi yang jujur. Jika Bawaslu tidak segera melakukan introspeksi, dikhawatirkan kepercayaan publik terhadap lembaga pengawas pemilu akan terus merosot, dan hal ini berpotensi menurunkan kualitas demokrasi kita secara keseluruhan. Kekecewaan masyarakat yang diwujudkan melalui karangan bunga adalah bentuk protes yang damai dan kreatif, tetapi hal ini juga merupakan peringatan keras bahwa masyarakat membutuhkan lembaga pengawas yang benar-benar independen dan berpihak pada kebenaran.
Penting untuk diingat bahwa suara rakyat adalah roh dari sebuah demokrasi. Setiap warga negara berhak untuk menyampaikan kritik, pengaduan, dan dugaan pelanggaran pemilu tanpa harus merasa dikesampingkan. Ketika laporan masyarakat ditolak tanpa alasan yang jelas, hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah Bawaslu benar-benar berfungsi sebagai penjaga demokrasi atau justru sekadar menjalankan rutinitas formalitas belaka?
Bawaslu juga perlu melihat bahwa demokrasi tidak hanya sebatas pada pemungutan suara, melainkan juga pada keterbukaan, partisipasi publik, dan keadilan. Jika aspirasi masyarakat dianggap remeh atau bahkan dibungkam, hal ini mencerminkan lemahnya fondasi demokrasi kita. Demokrasi yang sehat membutuhkan lembaga pengawas yang responsif, bukan yang kaku dan sulit dijangkau.
Selain itu, setiap penolakan laporan yang melibatkan masyarakat harus memiliki alasan yang transparan. Sebagai lembaga pengawas, Bawaslu seharusnya bersedia menjelaskan proses penolakan secara rinci, sesuai dengan ketentuan hukum. Hal ini akan membantu masyarakat memahami alasan di balik setiap keputusan, dan pada saat yang sama, menumbuhkan kepercayaan bahwa Bawaslu bekerja secara objektif dan tanpa keberpihakan.
Sebagai solusi, Bawaslu perlu membuka ruang dialog dengan masyarakat dan melibatkan pihak-pihak independen dalam proses pengawasan. Jika masyarakat memiliki bukti atau temuan di lapangan, Bawaslu seharusnya menindaklanjuti secara proaktif, bukan malah mempersulit proses pengaduan. Demokrasi adalah milik bersama, dan Bawaslu harus menjadi pengayom yang memfasilitasi aspirasi masyarakat dengan adil dan terbuka.
Dengan demikian, peristiwa ini bisa menjadi momentum bagi Bawaslu untuk memperkuat komitmennya dalam menjaga demokrasi yang sehat dan transparan. Tanpa dukungan penuh dari masyarakat, upaya Bawaslu untuk mengawasi pemilu secara efektif akan sulit tercapai. Menghargai suara rakyat bukan hanya tanggung jawab moral, tapi juga merupakan mandat yang diamanatkan dalam undang-undang pemilu.
Jika Bawaslu mampu merespons dengan cepat dan bijaksana, maka kepercayaan publik dapat kembali dipulihkan. Tetapi jika tidak, kritik seperti ini mungkin akan terus muncul, dan kredibilitas Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu akan semakin dipertanyakan.
Sebagai lembaga yang diamanahi untuk menjaga integritas demokrasi, Bawaslu harus ingat bahwa setiap keputusan yang diambil, baik itu menindaklanjuti laporan atau menolaknya, akan dipertanggungjawabkan, tidak hanya di hadapan publik, tetapi juga di hadapan Tuhan kelak di akhirat. Setiap tindakan yang mengabaikan suara rakyat atau mencederai prinsip keadilan, meskipun tidak langsung terlihat, akan ada pertanggungjawaban moral yang besar. Demokrasi bukan sekadar soal memilih pemimpin, tapi tentang bagaimana kita memastikan setiap suara dihargai dan setiap laporan diproses dengan adil. Semoga Bawaslu di seluruh lembaga pengawas pemilu lainnya dapat menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, mengingat bahwa segala perbuatan di dunia ini akan ada balasannya di akhirat.
Opini ini ditulis oleh Catur Haryanto, seorang jurnalis kampung yang akrab disebut sebagai wong ndeso atau wong cilik. Meski mengaku tidak terlalu mengerti tentang politik, Catur melihat realitas di lapangan dari perspektif masyarakat biasa. Baginya, suara rakyat dan keadilan dalam proses demokrasi adalah hal sederhana namun sangat berarti. Dengan gaya bicara yang jujur dan sederhana, Catur menulis demi menyuarakan keresahan orang-orang kecil yang jarang mendapat perhatian, namun tetap peduli pada masa depan demokrasi di negeri ini. (*)
“Opini ini benar-benar mengingatkan pada hakikat amanah yang kita emban. Bawaslu harus introspeksi, karena menutup telinga terhadap laporan masyarakat sama saja dengan mencederai kepercayaan rakyat. Semoga mereka bisa lebih terbuka dan bertanggung jawab.”